Jangan Hanya Berdiri Di Depan Pintu
Kamis, 22 Desember 2011
Jangan Hanya Berdiri Di Depan Pintu
Drs H Syariful Alamsyah, Ketua Bidang Dakwah Dewan Da’wah
Nama Pak Natsir sudah saya kenal semenjak saya duduk di bangku SD.
Ayah saya adalah seorang guru SD, sebelumnya disebut Sekolah Rakyat
(SR). Ketika saya di bangku SD, ayah menceriterakan kepada kami tentang
tokoh-tokoh pejuang, seperti Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin
Prawiranegara, Burahnuddin Harahap, dan lain-lain. Mereka-mereka itu,
disebutkan oleh ayah sebagai tokoh-tokoh Muslim pejuang bangsa.
Setelah saya menyesaikan PGA 4 tahun di Silayang, dan untuk kelas lima
dan enamnya di Mu’allimin Muhammadiyah, Tamiang, Ujung Gading, kemudian
nama Pak Natsir dengan Dewan Dakwahnya, kembali menyentuh ingatan saya
lewat Pak Nuryufa, Direktur Muallimin tersebut. Ketika di
Padangsidempuan, disamping kuliyah di IAIN, mengajar di SMP
Muhammadiyah, dan juga aktif membantu-bantu di Kantor Dewan Dakwah.
Mejelang Pemilu tahun 1977, atas undangan Masjid Al-Munawwarah, Kampung
Bali, Tanah Abang, Dewan Dakwah Tapanuli Selatan dengan beberapa aktifis
Dakwah daerah, datang ke Jakarta. Di antaranya H. Zuber Ahmad, Pak
Dahnial Arham, BA, Pak Zamhar Said, Pak Nasuha Bugis, Pak Raja Dja’far
Hutagalung, Pak Basyir Panggabean, Pak Eyun Siregar, Pak Syamsul Bahri
Siregar, Saudara Burhaman Nasution, Saudara Izzudin, saya dan
lain-lain, sehingga rombongan kami, berjumlah 21 orang.
Kantor Dewan Dakwah di masa itu di masjid Munawwarah. Kami diterima
sebagai tamu masjid Al-Munawwarah, tinggal di masjid dan mendapat
pelajaran dari para tokoh juga di masjid, seperti oleh Pak Natsir, Pak
Roem, Pak HM Rasyidi, Buya AR Sutan Mansur dan lain-lainnya.
Setelah pengantar dan muqaddimah, beliaupun mengarahkan pandangan ke peta, sambil menunjuk beberapa titik, seperti Wilayah Aceh, Tapanuli Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Bagian Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, kalimantan Barat dan lain-lain. Beliau menyebutkan wilayah-wilayah tersebut sebagai wilayah mayoriti berpenduduk Muslim juga sebagai kantong-kantong ummat Islam.
Kemudian beliau mengarakan pandangan kami ke beberapa titik lain, seperti wilatah Tapanuli Utara, Lampung, Yogya, Jawa tengah dan lain-lain. Beliau menyebut wilayah-wilyah tersebut sebagai daerah kristenisasi, yang terancang, terprogram dan sistematis yang dilakukan oleh Kolonial Belanda di masa dulu.
Beliau menyebutkan, bahwa Tapanuli Utara merupakan pemisah bagi wilayah Sumatera Bagian Utara dengan wilayah Sumatera bahagian Tengah. Lampung merupakan pemisah bagi wilayah Sumatera bagian Tengah dengan wilayah Jawa Barat dan demikian pula halnya Jawa Tengah dan Yogya sebagai pemisah antara Jawa Barat dengan Jawa Timur. Pak Natsir juga menyampaikan beberpa bentuk kegiatan kristenisasi di Indonesia dan dampaknya. Di antaranya dampak menyekolahkan anak di sekolah Kristen. Di Jakarta, ada anak yang oleh orang tuanya disekolahkan di Sekolah Katolik. Anak itu, rajin belajar, menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, baik terhadap orang tua. Di sisi lain anak itu tidak bisa tidur, sebelum berdoa dengan cara berdoanya orang-orang Katolik.
Dalam menghadapi gerakan pemurtadan yang dilakukan missionaris, dan maslah-masalah politik dalam pemilu 1977 yang akan datang, Beliau menyebutkan, bahwa kita harus memahami persoalan-persoalan ummat Islam. Persoalan ummat Islam di saat ini kata Beliau adalah persoalan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Lewat inilah para missionaris dan para ambisi kekuasaan memainkan perannya dalam mencapai visi dan missinya. Untuk Pemilu yang akan datang tahun 1977, perlu direnungkan: apakah kita akan memilih aktif ?. Maksud beliau ikut memilih dan ikut berkampanye, atau akan memilih pasif, maksudnya ikut memilih tetapi tidak ikut berkampanye atau tidak akan memilih sama sekali, maksudnya tidak ikut berkampanye dan tidak pula ikut memilih. Setelah mendengar paparan Pak Natsir, kamipun menjadi faham dan tahu apa yang akan dilakukan.
Pada tahun 1978, saya berkesempatan diikutsertakan dalam pelatihan dai Dewan Dakwah angkatan III di Darul Falah, Bogor dan kemudian ditugas ke daerah selama lebih dari dua tahun, kemudian atas usaha Pak Natsir (Dewan Dakwah) mendapat kesempatan belajar di Jami’ah Islamiyah Madinah Saudi Arabia. Setelah selesai, Oktober 1986, saya ke Dewan Dakwah, dan oleh Pak Natsir disuruh untuk membatu-bantu di Biro Bina Data, yang sekarang disebut Bidang Dakwah dan Diklat.
Dalam perjalanan menjalankan tugas sehari-hari, dimana ketika Buya Ismail Hasan Metareum terpilih untuk memimpin PPP, Pak Natsir lewat Majalah Panji Masyarakat menyatakan mendukung PPP. Tiba-tiba di suatu pagi Pak Buchari Tamam, menyampaikan kepada saya, “ Saudara Syariful dan Saudara Syuhada Bahri disuruh Pak Natsir untuk datang ke rumah Jalan Jawa.”
Besok paginya saya dan Saudara Syuhada pun ke Jalan Jawa, dan sesampai di sana, Pak Solihan MT dari Surakarta sudah bersama Pak Natsir. Selama bersama Pak Natsir di pagi itu, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Sepertinya Pak Natsir ingin mengatakan kepada kami, bahwa dalam berpolitik hendaklah didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan umat dan bangsa. Setiap partai dan orang-orangnya, yang punya prinsip untuk membangun kemaslahatan ummat dan bangsa, patut mendapat dukungan dari ummat itu sendiri. Bila kita sudah bersungguh-sungguh menentukan pilihan dan sikap, ternyata kita salah dalam berijtihad itu, tentu masih mendapat pahala. Pertemuan tatap muka dengan Pak Natsir menjelang pemilu 1977 dan Pemilu di masa Buya Ismail Metareum memimpin PPP, sangat baik dan berharga bagi saya.
Pada kesempatan lain, di satu pagi di Kantor Pak Natsir di lantai dasar Masjid Al-Furqan,dan saya sedang duduk di depan Pak Natsir. Tiba-tiba Pak Soehoed datang dan menyampaikan,“Saya baru saja dari Surabaya menghadiri satu pertemuan, dan dihadiri oleh Pak Ruslan Abdul Gani, beliau mengatakan, bahwa ketika Bapak (Pak Natsir, pen) menjadi Mentri Penerangan dan dia salah seorang staf Bapak, dan bapak menyuruh beliau untuk menemui Bung Tomo agar Bung Tomo meneriakkan kalimat “Allahu Akbar” dalam menggalang umat untuk melawan tentara sekutu.”
Pak Natsir menyambut apa yang disampaikan oleh Pak Soehoed itu dengan senyumnya yang khas bagi kami. Kemudian Pak Soehoed mengatakan, “Pak kenapa tidak ditulis, agar kami sebagai generasi penerus bisa tahu.”
Pak Natsir hanya menjawab, “Itukan dulu, dan ia sudah berlalu.” Dari sikap Pak Natsir yang seperti itu, saya melihat sangat mulianya hati Pak Natsir dalam memperjuangkan umat dan bangsa ini.
Selama saya bersama Pak Natsir, banyak yang bisa dikenang. Bila saya tidak tahu dia suruh saya untuk menjadi tahu, bila saya salah tidak dimarahi, justru diajari. Bila ada tamu-tamu dari daerah beliau panggil saya, beliau perkenalkan. Bila yang datang itu anak-anak muda, setelah mendengarkan; Beliau memberikan nasehat “Jangan suka duduk di pintu melihat orang lalu lalang, singsingkan lengan baju, berbuatlah apa yang bisa tuan-tuan perbuat. Bila salah, jadikanlah kesalahan itu sebagai pelajaran untuk kedepan.”
Beliau mengatakan sambil membacakan hadits Nabi لا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ “Seorang mu’min tidak akan terperosok di lubang sama dua kali” (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah)
0 komentar:
Posting Komentar